Minggu, 04 Desember 2011

Ekonomi Bukan Matematika

SIBUK: Pedagang saham di bursa saham Brazil kini semakin waspada akan perubahan pasarSIBUK: Pedagang saham di bursa saham Brazil kini semakin waspada akan perubahan pasar     Walaupun pemerintah Indonesia yakin krisis keuangan saat ini tidak akan sampai mengulang krisis tahun 1997-1998, namun hal-hal tak terduga mungkin saja terjadi. Ibarat melihat hantu, seluruh manusia penghuni planet yang bernama Bumi ini begitu ketakutan melihat badai krisis keuangan yang sedang mengancam. Sebelumnya, tidak ada yang menduga, krisis yang awalnya dipicu oleh ketidakmampuan rakyat Amerika (AS) membayar cicilan utang rumah (Suprime Mortgage) itu akan berdampak seperti sekarang. Namun karena begitu rapatnya jaring globalisasi yang mengikat perekonomian dunia di era ekonomi liberalisme ini membuat tidak ada satu negara pun yang benar-benar bebas imbas jika krisis ini terus berlanjut.
Rentetan krisis keuangan di AS itu awalnya membuat satu demi satu institusi finansial besar bertumbangan. Bangkrutnya sejumlah lembaga keuangan multinasional yang beroperasi di seluruh dunia membuat likuiditas atau jumlah uang yang beredar secara global mengering. Terjadi penarikan simpanan secara ramai-ramai oleh nasabah bank di Eropa, di samping keengganan sesama bank saling meminjamkan turut memperparah ketatnya likuiditas. Kebutuhan likuiditas yang tinggi itu membuat para investor menarik dananya dari pasar keuangan. Salah satunya dengan menjual saham mereka di berbagai pasar bursa. Itulah dampak langsung pertama krisis keuangan global yang dirasakan dunia saat ini.
Walaupun Kongres Amerika Serikat telah menyetujui paket dana talangan sebesar US$ 700 miliar, pemerintah di berbagai negara juga sudah menyuntikkan dana ke pasar serta memberi jaminan atas semua utang dan simpanan nasabah di perbankan. Namun hal tersebut tidak cukup menenangkan pasar. Nampaknya investor khawatir, otoritas tidak sanggup lagi menghentikan krisis. Aksi ramai-ramai jual saham terus berlanjut yang akhirnya membuat indeks saham di hampir seluruh bursa penjuru dunia turun secara drastis, bahkan dikabarkan mencatatkan rekor baru. Indeks bursa saham di Dow Jones, pasar saham yang selama ini sering dipakai sebagai tolok ukur perdagangan saham dunia, pada Selasa (7/10) misalnya, melorot hingga 500 poin.
Di Indonesia sendiri, otoritas Bursa Saham Indonesia (BEI) sempat menghentikan perdagangan 15 emiten karena penurunan dalam sehari telah mencapai batas toleransi 30%. Emiten dimaksud di antaranya adalah kelompok Bakrie. Penurunan indeks pertama sekali dipicu penjualan besar-besaran saham-saham kelompok Bakrie oleh Fortis, salah satu investment banking terbesar asal Eropa yang juga didera kerugian akibat investasinya di surat-surat beharga berbasis subprime mortgage. Untuk mengurangi kerugian, Fortis melikuidasi aset-asetnya di berbagai bursa dunia, termasuk di Indonesia.
Lebih dramatis lagi, akibat jatuhnya indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sudah di luar batas kewajaran, perdagangan saham di BEI, Rabu (8/10) terpaksa dihentikan sementara oleh otoritas BEI sebelum sesi perdagangan pertama hari itu berakhir. Bahkan, pada sesi kedua, bursa juga tetap tidak dibuka hingga Jumat (10/10).
Begitu mengkhawatirkannya ancaman krisis global ini, sampai-sampai beberapa pemimpin dunia saling menyerukan pihak-pihak agar mengambil tindakan penyelamatan. Paus Benediktus XVI misalnya, menyarankan agar korporasi finansial menghentikan aksi ambil untung besar tanpa mengindahkan risiko. Sedangkan PM Inggris mengecam AS yang dianggap sebagai penyebab awal masalah ini. “Saya kira AS harus bertanggung jawab terhadap dunia dan juga kepada mereka sendiri,” katanya seperti dikutip berbagai media. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyerukan kepada AS dan negara-negara maju lainnya mengambil tanggung jawab menstabilkan sektor keuangan.
Sebelum diminta pihak lain, para pemimpin Uni Eropa memang sudah bertemu untuk mencari solusi. Presiden Bush juga dikabarkan sibuk membuat berbagai langkah, termasuk menghubungi sejumlah pemimpin Eropa guna mengupayakan strategi yang terkoordinasi mengatasi krisis. Tanpa disebutkan, Bush mungkin merasa bertanggung jawab atas kejadian sekarang, sebab seperti pendapat banyak pihak, bahwa krisis sekarang ini berakar dari minimnya peraturan yang mengontrol sektor keuangan di negara adidaya itu.
Di Tanah Air, yang sistem keuangannya masih sangat rentan terhadap gejolak eksternal, dampak ketatnya likuiditas global akan memandekkan pembangunan sektor riil. Jika krisis berlanjut, cepat atau lambat, ekspor beberapa produk pasti terganggu seiring menurunnya permintaan dunia. Efek lanjutannya, produsen-produsen komoditi ekspor akan melakukan penyesuaian dengan cara mengurangi produksi yang juga berarti akan mengurangi karyawan. Dengan bertambahnya pengangguran, berarti krisis akan mempengaruhi semua lini kehidupan masyarakat mulai dari pengusaha hingga tukang ojek dan pedagang asongan sekalipun.
Walaupun pemerintah Indonesia yakin krisis ini tidak akan sampai mengulang krisis tahun 1997-1998, dan dampaknya juga diperkirakan baru terasa tahun 2009 nanti, namun hal-hal tak terduga mungkin saja terjadi. Seperti pendapat para ekonom, ekonomi bukanlah matematika. Ekonomi sering bergulir sesuai persepsi para pelaku. Oleh sebab itu, demi mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah bersama lembaga-lembaga negara terkait telah berulangkali mengadakan rapat koordinasi untuk membahas langkah antisipasi.
Beberapa langkah antisipasi yang berhasil disepakati pemerintah di antaranya: Meningkatkan likuiditas secara terukur; Akan menyerasikan kebijakan fiskal dan moneter; BI akan mendukung penuh kebijakan pemerintah tanpa kehilangan independensinya; Belanja pemerintah akan ditingkatkan hingga 92% akhir Desember 2008; Memperkuat neraca pembayaran dengan meningkatkan ekspor, menurunkan impor dan menarik minat investasi asing.
Hampir sejalan dengan langkah antisipasi yang disepakati pemerintah dan Bank Indonesia, Kadin juga menyumbangkan 21 butir rekomendasi untuk mengatasi krisis global antara lain: Bank Indonesia perlu merelaksasi kebijakan uang ketat; perlu meningkatkan jumlah jaminan yang ditanggung LPS; ekspor komoditi andalan perlu dukungan khusus; perlu memperkuat perlindungan pasar dalam negeri; percepatan implementasi kebijakan sektor agro, pangan dan energi; menjaga tingkat kepercayaan konsumen agar permintaan domestik tidak turun; penurunan atau pembebasan pajak (PPN dan PPnBM); dan perlunya percepatan pelaksanaan proyek infrastruktur.
Sementara itu, untuk menjaga kebutuhan devisa, pemerintah meminta sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memindahkan simpanan dollar Amerika Serikat ke dalam negeri. “Kami mengimbau supaya dipindahkan ke sistem perbankan domestik saja,” kata Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, 6 Oktober lalu. Tapi menurut Sofyan, kalau dollar yang akan dipakai untuk proyek dan kebutuhan di luar negeri, dikecualikan. Selain itu, pemerintah juga berencana menyiapkan tindakan khusus terhadap perusahaan negara yang kebutuhan dollarnya tinggi (over exposure). “Mereka diminta untuk meninjau kembali proyek-proyek itu, terutama yang mismatch,” ujar Sofyan.
Kendati Presiden optimis krisis ekonomi 1998 tak akan terulang, namun dia mengingatkan agar tidak lalai memelihara momentum pertumbuhan ekonomi. Presiden meminta agar perkembangan pasar domestik diperkuat dengan menjaga konsumsi serta pemanfaatan produk dalam negeri. Sependapat dengan Presiden, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu juga mengatakan, impor barang konsumsi harus dikurangi untuk menyeimbangkan neraca perdagangan Indonesia menyusul perkiraan terjadinya penurunan kinerja ekspor tahun depan. Sedangkan Ketua DPR R Agung Laksono mengatakan, ada dua hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi imbas krisis ekonomi AS yakni memanfatkan potensi sumber daya alam Indonesia yang melimpah dan penerapan kebijakan ekonomi yang efektif dan efisien.
Dari berbagai solusi yang ditawarkan untuk mengatasi ancaman krisis ini, yang paling penting diperhatikan adalah bagaimana menumbuhkan dan menjaga kepercayaan. Termasuk menjaga kepercayaan pasar global terhadap sistem finansial di Indonesia, serta kepercayaan masyarakat Indonesia sendiri pada produk dalam negeri. Di samping itu, pertumbuhan kredit sebagai motor utama bisnis perbankan perlu dijaga jangan sampai lebih banyak tersedot di sektor konsumtif. Pengawasan di sektor keuangan juga perlu diperketat sekaligus fokus pada pembangunan sektor riil, infrastruktur, energi dan pangan. MS (Berita Indonesia 61)

Sumber : http://www.beritaindonesia.co.id/ekonomi/ekonomi-bukan-matematika